بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh DABLO DOVER
'Saat al Quran Dibacakan'
Agak canggung jika tidak memulai
topik ini dengan kata Salam, walau pun cukup banyak yang berhasil menunggangi
kata Salam tapi besar harapan agar kita tidak membenci orang seperti ini.
Mereka hanya bukti pergeseran dinamik evolusi pemahaman, didapati
melalui alur tradisi hingga menjadi kebiasaan publik. Mengucap Salam bukan
anjuran dalam etika menurut kebudayaan saja, setiap ajaran agama apa pun
namanya, yang dijadikan legitiminasi manusia sebagai akidah atau keyakinan juga
memuat penegasan, penerapan pemakaian kata Salam, terlepas peletakan fungsinya.
Merujuk esensialitas ajaran agama
pemakaian kata Salam baik, juga ditujukan untuk sesuatu yang baik. Kemudian
mengingat di dalam esensialitas ajaran agama juga memuat batasan agar tidak
mengutamakan sangka dalam menanggapi segala sesuatu (kata Salam), maka artikel
ini ingin membeberkan sedikit penjelasan guna menetralisir segala prasangka
yang sulit dihindari kedatangannya.
Sebagaimana hukum alam, evolusi
itu riil, tidak ada kekuatan apapun yang dapat menahannya. Banyak contoh untuk
membuktikan bahwa gerak pergeseran pada proses evolusi akan menghantarkan
peristiwa pada awal mula kejadiannya. Seperti musim kemarau dan musim hujan,
atau pergantian waktu, bisa dilihat dari alat penunjuk waktu (jam), setiap
jarum jam bergerak dari angka awal menuju angka selanjutnya, kemudian kembali
ke angka semula, begitu seterusnya.
Fungsi evolusi adalah
memberangkatkan peristiwa menjauhi esensinya lalu mengembalikannya kepada
esensi semula, itulah hukum alam. Tidak seorang manusia dapat mengatur skenario
ini, kecuali Allah, Tuhan semesta alam. Agar lebih konsentris, coba kita
teropong lewat kaca mata agama, sambil melihat apakah ajaran agama telah
mengalami pergeseran. Akan lebih lentur jika melihatnya dari ruang lingkup
Islam, karena mayoritas masyarakat disekeliling kita menganut Islam.
Bukan berarti membuat batasan
dari teman-teman di Nasrani, Hindu, Buddah, atau agama Eleng sekalipun. Justru
berharap besar pada yang di luar Islam agar dapat mengikuti, menjadikan ini
formula yang relevan. Harapan bagi penganut Islam agar jangan suzhon, ini hanya
upaya mengingatkan kita pada sesuatu yang riil.
Artikel ini tidak berlandaskan
kajian yang tinggi, bukan maksud bertanding ilmu dengan para pemuka agama yang
sudah tinggi jam terbangnya. Ilmu agama yang di pakai saat menulis artikel ini
masih seujung kuku jika dibandingkan dengan mereka. Tapi ketika menulis ini sungguh
dalam keadaan Islam, maka dengan kebenaran ini keberanian timbul untuk melihat,
apakah Islam saat ini masih lekat dengan kualitas esensialitasnya? Masih
bisakah dipertanggungjawabkan keasliannya?
Jawabannya “tidak”. Islam
telah mengalami pergeseran, tidak bias. Tidak ini harus terjadi, tidak ada yang
dapat mencegah sebagaimana evolusi. Proses ini jarang sekali diperhatikan
dengan kesadaran kita, tidak pernah singgah diakal manusia secerdas apapun.
Manusiawi sekali jika peristiwa
ini ditolak, sebab niat menggeser akidah Islam dipandang tidak pantas, ini
menunjukan bahwa tak seorang manusia dapat mengeser akidah tersebut, apalagi
manusia itu adalah penganut Islam. Artinya kesanggupan ini hanya milik Allah,
seperti simpul kesepakatan kita selama ini, menyebutkan Tuhan Maha Kuasa.
Ketika seorang manusia tidak
boleh melakukan hal itu, maka tak seorang manusia pula dapat mecegahnya, kalau
pun ada manusia mencoba mencegahnya berarti ia mencoba melawan kekuasan Tuhan.
Islam yang dibawa oleh Baginda Rasullullah Muhammad Bin Abdullah berdasarkan
keimanan. Kata iman diangkat dari bahasa Arab artinya percaya. Segala
sesuatu agar dapat di percaya adalah yang dapat disentuh oleh akal, dapat
bergesekan langsung dengan panca indera. Setelah melewati fase itu barulah
dapat dimasukan kedalam hati untuk diyakinkan menjadi sesuatu yang tidak
khayal, karena sudah terbukti keberadaan (zat) nya.
Segala sesuatu yang masih dalam
bentuk imajinasi tentu tidak berwujud, tidak memiliki bukti, adalah kebohongan.
Islam tidak mengajak berkhayal, justru menekankan untuk mengikuti segala yang
nyata, karena Islam menyembah Tuhan yang nyata. Tapi bagaimana membuktikan Allah
ada?
Sejauh ini Tuhan yang bernama
Allah tidak pernah dapat di jumpai, walau dengan alat bantu secanggih apapun.
Dengan kelemahan ini, pantaskah jika Allah yang akan memperkenalkan diri kepada
kita? Mungkin sebab itulah Allah menurunkan wahyuh, sekarang telah disusun
menjadi kitab, sebagai penjelasan agar Allah dapat dikenali.
Untuk mendapatkan penjelasan
gamblang dalam kitab, ternyata butuh seorang ahli, seperti Muhammad yang di
utus Allah untuk menjelaskan seluruh kalimat itu sebelumnya. Dalam peradaban
hari ini tentu bingung untuk menentukan seorang ahli, karena begitu banyak ahli
kitab yang bermunculan tapi tak satupun mereka dapat mendekatkan isi kitab itu
kepada logika.
Jelasnya, ahli yang dibutuhkan
disini bukan ahli kitab, tapi ahli waris, karena pewaris sudah pasti menguasai
kitab, kalau ahli kitab belum tentu mewarisi apa yang ditugaskan Allah kepada
Muhammad, baik penjelasan di dalam kitab maupun perjuangan mengantarkan agama
Allah kembali kepada esensinya.
Muhammad seorang pilihan, maka
pewarisnya juga seorang pilihan, dengan begitu terujilah iman setiap manusia
yang meyakini agama, terlogikakanlah agama berdasarkan iman setiap penganutnya,
sebab kehadiran sipenerus. Kehadiran orang ini akan melunturkan sekaligus
menyempurnakan keimanan, begitu lah kehadiran Muhammad, beliau datang di tengah
umat yang sudah menganut agama Tuhan yang dibawa oleh Isa, Musa, atau yang
lebih dulu hadir sebelum mereka.
Wajarlah jika kedatangan Muhammad
ketika itu sulit di terima untuk diakui, karena kedatangan beliau berjarak
jauh setelah wafatnya Isa, begitu pun Isa didatangkan Allah dengan jarak
jauh setelah wafatnya Musa. Itu membuktikan bahwa setiap agama Allah yang di
bawa oleh utusanNya akan mengalami pergeseran sejauh ditingglkan sipembawa
(utusan Allah), kemudian pergeseran mengarah pada pengembalian kepada dasar
semula. Proses ini dengan ketentuan Allah mendatangkan seorang manusia
untuk melakukan pekerjaan ini sebagai penerus atau pengganti orang sebelumnya.
Otomatis orang ini akan mengalami
kesulitan yang sama dengan orang sebelumnya, karena kedatangannya tepat di
tengah umat yang sudah meyakini agama, dan sudah terlanjur mengidolakan serta
mengkultuskan orang terdahulu sebelumnya, dipercayai atau diyakini sebagai
pembawa agama walau sebenarnya mereka tidak pernah bertemu dengan sosok orang
dimaksud.
Sejauh ini
jika setiap personal kita dapat menginsafi kelemahan yang menyebabkan
terhijabnya pikiran, maka akan dapat melihat, betapa entengnya mengatakan
percaya pada orang yang membawa agama Tuhan (utusan), seperti Isa atau
Muhammad, padahal kita tidak hidup dan tidak pernah berjumpa dengan mereka.
Jika kita hidup sezaman dengan salah satu dari mereka (utusan) mungkin kita
salah seorang penentang, bisa jadi kita salah seorang yang ikut memerangi
Muhammad, ikut menyalibkan Isa.
Itulah bentuk penolakan yang
dibuatkan manusia saat kehadiran mereka, sebab kebudayaan yang berlaku
mengharuskan percaya pada utusan terdahulu, yang sudah tidak kelihatan
wujudnya, alias sudah lama wafat. Keyakinan atau kepercayaan kultural ini
menyebabkan manusia takut, dan cemburu jika idolanya diduakan, bahkan
menanggapi dengan pikiran terhijab kalau kehadiran si utusan akan melecehkan
agama mereka, sambil mengatakan “tidak ada lagi manusia sama seperti utusan
Tuhan terdahulu.”
Sangat berarti pesan orang pintar
yang menyarankan kepada kita agar mau belajar dari sejarah. Di dalam Al Qur’an
tertulis sejarah, bahwa setiap kali datang utusan Allah selalu menjunjung
tinggi utusan sebelumnya.Jika kita membuka sedikit saja tabir dalam pikiran
maka akan mendapat bukti. Dijelaskan dalam Al Qur’an bahwa Muhammad sangat
menjunjung tinggi Isa atas tugas beliau, begitu pun Isa menjunjung tinggi Musa,
seterusnya sampai kepada Nuh menjunjung tinggi Adam.
Tidak hanya Al Qur’an menjelaskan
sejarah ini, tapi juga Injil atau Kitab Suci lainnya. Jadi jelas tidak pernah
ada pelecehan agama, tak ada penghinaan terhadap utusan Allah yang terdahulu,
justru sangat tampak dalam proses ini ialah penyelamatan agama, proses
penghormatan, penghargaan yang tinggi dan besar kepada utusan Allah terdahulu.
Ini lah evolusi, tidak dapat
dibendung, kalau ada yang mencoba membendung sama artinya melawan kehendak
Tuhan. Orang seperti ini akan digilas, sebab saat kereta globalisasi dilepas,
seiring dengan itu proses evolusi akan semakin cepat, ibarat sebuah roda
semakin kencang berputar, maka berubahlah evolusi itu menjadi wujud revolusi
dikarenakan kecepatannya terus bertambah dan semakin bertambah. Sempurnahlah
kalimat untuk menyebut gerakan ini menjadi “Revolusi Islam.” Manusia yang
dipilih Allah mengemban tugas itu menjadi figur yang pantas disebut
“revolusioner”.
Salam,
Dablo Dover, Medan SUMUT, INDONESIA
'konvigurasi yang sulit diterima,
dianggap tidak pantas hadir dalam peradaban hari ini'